Jika
seseorang telah menjadi mangsa cinta, hanya pasrah yang dapat dia lakukan.
Seperti seekor lalat yang terperangkap dalam kantung semar. Semakin dia meronta
dan melawan kehendak cinta, maka semakin kuat cengkraman dan belenggunya.
Seperti sehelai daun yang dihempas gelombang samudra. Tak berdaya.
Demikian
keadaanku sekarang. Aku benar-benar terbelenggu oleh cinta. Kekuatan rasa yang
benar-banar dahsyat. Tiada yang sanggup menolongku. Tiada yang sanggup
menyadarkanku. Tiada yang sanggup mengobati penyakitku. Satu-satunya jalan
adalah berjumpa dengan orang yang telah membuatku tak berdaya. Orang yang telah
membuatku jatuh hati. Hanya dia obatnya. Tak ada yang lain.
Kalian
pernah mendengar cerita tentang Qois si Majnun yang gila karena cintanya pada
Layla. Seseorang yang mengembara tanpa arah dan tujuan bertemankan kaum
binatang. Nasibku mirip-mirip dengannya. Tapi tak separah dirinya. Namun Majnun
lebih beruntung, karena dia masih dapat berjumpa dengan gadis pujaannya. Sedangkan
aku, tak pernah berjumpa dengan gadis pujaanku. Sekalipun tak pernah. Ya,
karena aku mencintai seorang gadis yang hadir dalam mimpiku. Yang sekarang
hanya hidup dalam angan-anganku.
Seorang
gadis yang senyumnya bak sekuntum mawar yang mekar di pagi hari. Dengan
gemerlap tetesan embun yang disinari matahari membasahinya. Bunga yang hanya
tumbuh di taman surga. Yang disirami telaga Kautsar setiap harinya. Indah
sekali.
Aku
merindukan sebuah perjumpaan dengannya. Rindu ini semakin lama semakin menyiksa.
Hanya orang-orang yang pernah merasakan derita sebuah penantian dan kerinduan
yang dapat merasakannya.
Penantianku,
kerinduanku adalah sesuatu yang tak jelas juntrungnya. Apakah gadis dalam
mimpiku benar-banar ada dalam dunia nyata?. Begitulah cinta. Jika hati
seseorang telah dicondongkan terhadap suatu hal olehnya. Bahkan yang tak masuk akal
sekalipun. Dia tak bisa menghindar sedikitpun. Tragis. Aku pun tetap tak
berdaya. Sedetik pun tak bisa lepas dari memikirkan dan merasakannya.
Orang-orang
di sekitarku menjadi sangat kuatir dengan keadaanku sekarang. Aku pun tak dapat
berbuat banyak dengan keadaanku. Tubuhku menjadi kurus. Aku menjadi sering
murung. Dan hari-hariku menjadi tiada berarti. Aku hanya menghabiskan waktu
untuk memikirkan dan merasakan orang yang tak jelas. Terkadang aku tersenyum
sendiri karena sebuah khayalan tentangnya.
Benarlah,
akal akan kehilangan eksistensi di depan cinta. Bahkan baru melihat rumah cinta
akal akan lari ketakutan. Kembali ke pangkuan ibunya.
“Kang
keadaanmu semakin parah. Haruskah aku hubungi keluargamu?” Ucap salim, temanku
satu gotakan suatu hari.
“Tak
usah. Aku baik-baik saja. Hanya badanku saja yang kelihatan sakit. Jika
keluargaku tahu pasti mereka membawaku pulang. Naunku selama tiga tahun
yang tinggal empat bulan ini akan gagal total,” aku menjelaskan. “Mungkin ini
cobaan karena tirakatku hampir selesai di pesantren ini.”
***
Suatu hari
aku dan kawan-kawan santri ziaroh ke makam Sunan Kudus. Selesai berdo’a di
makam kami diberi waktu untuk sekedar mencari makan atau oleh-oleh sebelum
melanjutkan perjalanan ke Tuban. Namun aku lebih memilih istirahat di serambi
masjid menyambi memandangi menara kebanggaan orang Kudus yang megah ini. Sesaat
kemudian aku hampir-hampir tak percaya dan tak berdaya dengan sesuatu yang
kulihat ini. Gadis yang aku cintai dalam mimpiku ada di masjid ini. Dia duduk
seorang diri dengan tenang di serambi sebelah utara. Mungkinkah di sini Jabal
Rohmah kita? Dengan ragu aku menghampirinya.
“Kau siapa?”
tanyaku terbata-bata.
“Aku datang
untuk sebuah perjumpaan,” jawabnya singkat dengan pandangan kosong.
“Perjumpaan
dengan siapa?”
“Seseorang
dalam mimpiku.”
Tubuhku
bergetar hebat mendengar jawabannya. Seorang gadis yang datang untuk sebuah
perjumpaan dengan orang dalam mimpinya. Dan gadis di hadapanku adalah orang
dalam mimpiku yang aku cintai. Memang tak ada yang tahu sebuah perjumpaan
terjadi. Dan cinta memiliki banyak jalan untuk sebuah perjumpaan.
“Siapa orang
itu?”
“Dalam
mimpiku wajahnya samar-samar. Tak begitu jelas. Namun hatiku dapat mersakan dan
melihatnya dengan jelas. Dan dia akan datang hari ini.”
“Akulah
orang dalam mimpimu. Aku juga bermimpi berjumpa denganmu. Bahkan dengan jelas
wajahmu dapat kulihat. Aku telah jatuh hati padamu dari pertama kali kita berjumpa.
Perjumpaan dalam mimpiku. Sekarang perjumpaan itu menjadi kenyataan”
“Apa
yang dapat meyakinkanku jika kau orangnya?”
“Jawabannya
ada dalam hatimu.”
“Jika
kau orang dalam mimpiku dan jika kau benar-benar mencintaiku, maka temui aku
satu tahun lagi di tempat ini. Pada tanggal yang sama dengan hari ini,” ucapnya
kemudian dengan tatapannya yang dalam padaku. Aku merasa tenang.
Aku
menyanggupi dan kami berpisah. Perjumpaan yang sangat singkat untuk sebuah
penantian dan kerinduan yang begitu lama.
Satu
tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah penantian dan kerinduan. Namun
aku percaya bahwa manisnya perjumpaan karena derita perpisahan. Rasa manis takkan
datang tanpa derita terlebih dahulu.
***
Hari
yang kutunggu akhirnya datang. Aku datang dan menunggu di tempat yang telah
dijanjikan. Aku menunggu begitu lama di sini. Hari telah sore, gadis yang
kutunggu belum juga datang.
Tiba-tiba
datang seorang tua memberiku sebuah kertas. “Ini dari seorang gadis. Seorang yang kau tunggu kedatangannya,”
ucapnya.
“Di mana dia
sekarang ?” tanyaku buru-buru.
“Dia hanya
menyerahkan ini dan tak mengatakan apa-apa kemudian.”
Aku tak sanggup berkata setelah itu.
Mungkinkah dia membohongiku? Ah tak mungkin. Ucapannya sungguh tulus waktu itu.
Mungkin ini skenario cinta.
Aku buka
kertas itu. Kenapa pikiranku begitu terburu-buru menyimpulkan saat yang datang
hanya suratnya. Ah, terkadang memang begitu manusia suka terburu-buru. Dalam
surat itu dia memintaku untuk datang ke rumahnya pada tanggal yang telah
tertulis dalam surat tersebut. Di debuah tempat di daerah Kediri. Seketika itu
juga aku pastikan bahwa aku akan datang pada hari itu. Untuk sebuah penantian.
Untuk sebuah kerinduan. Untuk sebuah perjumpaan. Untuk cinta. Lia. Miftahul
Alia. Tertulis namamu dalam surat.
***
Aku datang
pada tanggal dan waktunya. Siapa yang menikah, pikirku. Janur kuning melengkung
tanda sedang ada yang menikah. Aku semakin melangkah dan sangat ramai orang di
sana. Mungkinkah dia? Mungkinkah surat itu sebuah undangan untukku? Kejam.
Sungguh kejam.
“Ini orangnya,”
tiba-tiba orang yang tak kukenal menarik tanganku.
Aku ikuti
tanpa berkata apapun. Mungkin memang benar gadis yang aku cintai sedang
melangsungkan pernikahan. Dan dia menginginkan aku melihat kebahagiaannya.
Cinta tak harus memiliki? Omong kosong. Tanya pada hatimu. Hatimu akan berontak
mendengarnya. Mungkin lelaki dalam mimpinya memang bukan aku.
Aku berjalan
dengan tertunduk lemas melewati tamu-tamu yang hadir. Semua menatapku. Sungguh
ramai. Mungkin dia anak satu-satunya.
Tiba-tiba
aku didudukkan di depan seorang penghulu. Ada apa ini. Apa aku disuruh menjadi
saksi? Entahlah.
“Sudah siap
mas?” tiba-tiba pertanyaan penghulu mengagetkanku. Apa maksudnya ini?
“Sebentar
pak. Siap untuk apa maksudnya?” aku bertanya bingung dan keheranan.
“Mas ini kan
pengantin laki-lakinya, kok tanya.”
Aku semakin
tak paham dengan semua ini. Aku benar-benar tak berkutik.
“Ayo jangan
lama-lama. Kami sudah cukup lama di sini menunggu anda.”
Mungkin ini
juga kehendak Cinta. Tak ada yang tahu bagaimana sebuah perjumpaan terjadi.
Manusia hanya mengikuti alurnya. Di baliknya sudah ada yang mengatur.
***
Malam
ini. Malam pertama aku sebagai seorang suami. Aku pandangi istriku. Gadis yang
pertama kali kujumpai dalam mimpi. Yang selama ini hanya aku cintai dalam
angan-angan. Sekarang benar-benar menjadi milikku seutuhnya. Dan aku juga
benar-benar menjadi miliknya seutuhnya sekarang. Dalam ikatan suci dan sakral.
Dunia akhirat
“Kenapa
kau hanya diam saja?” Tanya istriku tiba-tiba.
“Aku
bingung dengan semua kejadian ini.”
“Bukankah
Cinta memiliki banyak cara untuk orang-orang yang ia kehendaki.”
“Memang.
Tapi kenapa kau begitu yakin jika aku
jodohmu. Dan jika aku tidak datang apa yang akan kau lakukan?”
“Aku
mimpi lagi berjumpa denganmu. Dalam mimpiku wajahmu tak lagi samar, namun
benar-benar jelas. Dan dalam mimpiku juga aku melihat namamu dan namaku
disejajarkan di lauhl mahfud sana. Jadi sebelum kita tercipta kita memang sudah
ditakdirkan bersama,” dia berhenti sejenak dan memandangku sangat dalam. Aku
malu sendiri. Wajahku memerah. Aku menunduk. “Aku tidak pernah memikirkan
kemungkinan kau tidak datang. Aku yakin kau pasti datang.”
Malam
ini aku benar-benar merasakan perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Tak sanggup sebuah kata menguraikannya. Pena takkan sanggup mengeluarkan tinta
untuk menuliskannya.
“Kenapa
waktu itu bukan kau sendiri yang menyerahkan surat?” Ingatanku kembali pada
waktu itu. Saat aku menerima surat dari seorang tua bukan darinya.
“Aku
sengaja.”
“Apa
alasannya?”
“Tak
ada alasan di baliknya,” dia tersenyum.
Aku
bingung. Namun biarlah. Wanita memang memiliki banyak rahasia di baliknya.
Rahasia kehidupan yang teramat dalam.
“Aku
mencintaimu,” ucapku kemudian.
“Aku
juga,” jawabnya. “Aku tak mau sedetik pun berpisah denganmu. Aku sudah banyak
tersiksa oleh sebuah penantian dan derita perpisahan.”
“Aku
pun demikian istriku.”
Kendal, 21 April 2014
Cerpen ini menjadi juara dua dalam lomba kepenulisan cerpen yang diadakan oleh Universitas Muria Kudus
Komentar
Posting Komentar