Selain pesantren dan surau/langgar lembaga pendidikan Islam yang lain di Indonesia adalah Madrasah Diniyah. Sebagian besar dari kita memperoleh pendidikan dasar agama secara lengkap dari madrasah diniah, seperti pelajaran akhlaq, aqidah, fiqh, b. Arab, sejarah, ke-NU-an (bagi yang berada di bawah lembaga NU), tajwid, nahwu-shorof. Di samping malamnya selepas magrib belajar membaca al-Qur'an di langgar atau tempat guru di kampung masing-masing.
Di tempat kami lebih akrab disebut dengan sekolah sore, penyebutan ini lebih karena pelaksanaan pembelajarannya di waktu sore selepas sekolah pagi. Ada yang masuk di jam setengah dua, setengah tiga, atau bahkan jam empat sore. Masing-masing sekolah memiliki kebijakannya masing-masing dalam pelaksanaan jam pembelajaran.
Walaupun tidak terintegrasi pada masanya sekolah pagi dan sekolah sore benar-benar saling berbagi waktu yang seolah-olah saling pengertian. Saat pagi anak-anak sekolah di sekolah pelajaran umum, sedangkan sore harinya sekolah di sekolah pelajaran agama.
Sekarang di sepanjang Pantura Kendal sepengetahuan saya setiap desa ada madrasah diniyahnya, jikalau tidak ada anak-anak akan bersekolah di desa tetangga yang ada sekolah sorenya jika sudah saatnya masuk usia madrasah diniyah. Berbeda dengan dulu, madrasah diniyah hanya ada di beberapa desa tertentu saja. Di antaranya yang paling masyhur dan masih bertahan sampai sekarang adalah madrasah diniyah desa Pandes. Madrasah Diniyah Awaliyah desa Pandes. Ya, sebut saja MDA.
Pada masanya MDA Pandes pernah sangat berjaya dan sangat maju. Ia adalah sekolah sore unggulan dan langganan juara umum Pekan Madaris sekecamatan Cepiring yang waktu itu masih mencangkup kecamatan Kangkung. Murid-murid yang bersekolah sore di sana tersebar dari beberapa desa di kecamatan Cepiring ataupun luar kecamatan Cepiring, seperti Pandes, Sedayu, Gebang, Botomulyo, Gemuh, Tamangede,Podosari, Karangayu, dan lain-lain. Satu kelas berisi 50-an murid. Kelas satu sampai empat masing-masing tiga kelas setiap angkatannya. Kelas lima dan enam masing-masing dua kelas.
Pernah suatu ketika pada tahun 70-an MDA Pandes pasang-surut, bahkan sering habis muridnya. Sehingga soalan ini benar-benar menjadi permasalahan yang sangat serius di antara guru-guru. Entah kelanjutannya seperti apa sehingga pada akhrirnya diambil keputusan untuk mengambil guru-guru dari luar desa Pandes seperti dari desa Lanji, Donosari, Patebon, Podosari, Tamangede, Lomansari, dan entah mana lagi. Nama-nama guru yang dimaksud yang berhasil saya catat di antaranya Pak Ayyub, pak Ahmadan, pak Fathan, pak Syafi'i, pak Masrohan. Banyak di antara guru-guru yang diambil dari luar desa adalah lulusan pesantren Mranggen yang waktu itu diasuh oleh mbah. KH. Muslih Abdurrahman Mranggen. Dipilihnya guru-guru dari mranggen ini menurut hipotesis salah satu sumber (saya mengatakan hipotesis karena ini berupa dugaan beliau yang belum dibuktikan kebenarannya) adalah rekomendasi dari KH. Hanif Muslih yang mengetahui mana-mana santri-santri senior yang potensial untuk mengajar. Perantaranya adalah istri seliau yaitu Umi Fasikhah yang asli orang Pandes yang mendapat pengarahan dari mbah. KH. Musthofa Pandes. Wallahu A'lam.
Seperti halnya MDA pada umumnya waktu itu untuk pendanaan madrasah adalah gotong royong oleh masyarakat dan donatur tetap seperti Pak H. Ali, ibu Mustafidah, beserta ibu Sutimah. Mereka adalah juragan tembakau, maksudku pengepul tembakau sukses yang kelak dikirim ke pabrik-pabrik pengolahan tembakau menjadi rokok. Bahkan ibu Mustafidah menyediakan satu ruang khusus untuk tempat tinggal guru-guru yang rumahnya jauh. Di samping menyediakan tempat tingal guru beliau juga menjamin keseharian guru-guru tersebut disamping membayar HR mereka. Namun satu sumber mengatakan guru-guru yang asalnya jauh dari luar bertempat tinggal di KH. Achmad Rosyidi. Wallahu A'lam.
Dikatakan waktu itu saat yang meminta mbah KH. Musthofa, baik dalam hal mengajar atau donatur madrasah mereka akan sam'an wa tho'atan, bahkan ada perasaan bangga pada diri mereka.
"Penting"
Para alumni yang saya minitai informasi sangat bersemangat saat bercerita tentang guru-guru mereka saat di MDA. Banyak hal yang sampai sekarang masih melekat dan membekas dalam diri mereka, seperti cara mengajarnya, pembawaannya, cara berpakaiannya, cara naik sepeda, cara berjalan, dan entah apalagi. Yang intinya, kesemuanya berasal dari keteladanan. Guru-guru itu mengajar dengan ketelatenan dan ikhlas karena Allah SWT. Walaupun di rumah ada tanggungan keluarga mereka tetap menyempatkan mengajar. Guru-guru itu bagaimanapun cuacanya, panas, hujan angin, petir der-deran akan disempat-sempatkan untuk mengajar yang padahal jarak rumahnya jauh. Sebut saja guru-guru dari Donosari, Lanji, dan Patebon untuk sampai ke Pandes harus mengayuh sepeda melewati jembatan Pegandon itu. Jika melewati Cepiring maka harus melewati pematang sawah yang waktu itu masih sangat jarang bangunan-bangunan yang berdiri di sepanjang jalan. Bisa dibayangkan saat hujan disertai angin kencang yang jaman itu mantol hanya dimiliki orang-orang tertentu saja. Mengayuh sepeda jengki/onto dengan jarak yang harus ditempuh sepanjang 7,1 km (berdasar Google Map) hanya dengan payung hitam untuk melindungi diri dari hujan.
"Kang. Sampean mbiyen sekolahe ning MDA Sebeo si, kok nulise malah MDA Pandes," ucap suara-suara yang entah dari mana.
Tak Jawab, "Kita semua tidak ada yang tahu. Kemungkinan-kemungkinan di semesta ini sangat beragam dan kompleks. Siapa tahu jodohku kelak orang sana. Intinya, entahlah. Jodoh juga perkara kemungkinan yang tak kalah beragam dan kompleksnya. Aku hanya bisa menyemogakan."
Di tempat kami lebih akrab disebut dengan sekolah sore, penyebutan ini lebih karena pelaksanaan pembelajarannya di waktu sore selepas sekolah pagi. Ada yang masuk di jam setengah dua, setengah tiga, atau bahkan jam empat sore. Masing-masing sekolah memiliki kebijakannya masing-masing dalam pelaksanaan jam pembelajaran.
Walaupun tidak terintegrasi pada masanya sekolah pagi dan sekolah sore benar-benar saling berbagi waktu yang seolah-olah saling pengertian. Saat pagi anak-anak sekolah di sekolah pelajaran umum, sedangkan sore harinya sekolah di sekolah pelajaran agama.
Sekarang di sepanjang Pantura Kendal sepengetahuan saya setiap desa ada madrasah diniyahnya, jikalau tidak ada anak-anak akan bersekolah di desa tetangga yang ada sekolah sorenya jika sudah saatnya masuk usia madrasah diniyah. Berbeda dengan dulu, madrasah diniyah hanya ada di beberapa desa tertentu saja. Di antaranya yang paling masyhur dan masih bertahan sampai sekarang adalah madrasah diniyah desa Pandes. Madrasah Diniyah Awaliyah desa Pandes. Ya, sebut saja MDA.
Pada masanya MDA Pandes pernah sangat berjaya dan sangat maju. Ia adalah sekolah sore unggulan dan langganan juara umum Pekan Madaris sekecamatan Cepiring yang waktu itu masih mencangkup kecamatan Kangkung. Murid-murid yang bersekolah sore di sana tersebar dari beberapa desa di kecamatan Cepiring ataupun luar kecamatan Cepiring, seperti Pandes, Sedayu, Gebang, Botomulyo, Gemuh, Tamangede,Podosari, Karangayu, dan lain-lain. Satu kelas berisi 50-an murid. Kelas satu sampai empat masing-masing tiga kelas setiap angkatannya. Kelas lima dan enam masing-masing dua kelas.
Pernah suatu ketika pada tahun 70-an MDA Pandes pasang-surut, bahkan sering habis muridnya. Sehingga soalan ini benar-benar menjadi permasalahan yang sangat serius di antara guru-guru. Entah kelanjutannya seperti apa sehingga pada akhrirnya diambil keputusan untuk mengambil guru-guru dari luar desa Pandes seperti dari desa Lanji, Donosari, Patebon, Podosari, Tamangede, Lomansari, dan entah mana lagi. Nama-nama guru yang dimaksud yang berhasil saya catat di antaranya Pak Ayyub, pak Ahmadan, pak Fathan, pak Syafi'i, pak Masrohan. Banyak di antara guru-guru yang diambil dari luar desa adalah lulusan pesantren Mranggen yang waktu itu diasuh oleh mbah. KH. Muslih Abdurrahman Mranggen. Dipilihnya guru-guru dari mranggen ini menurut hipotesis salah satu sumber (saya mengatakan hipotesis karena ini berupa dugaan beliau yang belum dibuktikan kebenarannya) adalah rekomendasi dari KH. Hanif Muslih yang mengetahui mana-mana santri-santri senior yang potensial untuk mengajar. Perantaranya adalah istri seliau yaitu Umi Fasikhah yang asli orang Pandes yang mendapat pengarahan dari mbah. KH. Musthofa Pandes. Wallahu A'lam.
Seperti halnya MDA pada umumnya waktu itu untuk pendanaan madrasah adalah gotong royong oleh masyarakat dan donatur tetap seperti Pak H. Ali, ibu Mustafidah, beserta ibu Sutimah. Mereka adalah juragan tembakau, maksudku pengepul tembakau sukses yang kelak dikirim ke pabrik-pabrik pengolahan tembakau menjadi rokok. Bahkan ibu Mustafidah menyediakan satu ruang khusus untuk tempat tinggal guru-guru yang rumahnya jauh. Di samping menyediakan tempat tingal guru beliau juga menjamin keseharian guru-guru tersebut disamping membayar HR mereka. Namun satu sumber mengatakan guru-guru yang asalnya jauh dari luar bertempat tinggal di KH. Achmad Rosyidi. Wallahu A'lam.
Dikatakan waktu itu saat yang meminta mbah KH. Musthofa, baik dalam hal mengajar atau donatur madrasah mereka akan sam'an wa tho'atan, bahkan ada perasaan bangga pada diri mereka.
"Penting"
Para alumni yang saya minitai informasi sangat bersemangat saat bercerita tentang guru-guru mereka saat di MDA. Banyak hal yang sampai sekarang masih melekat dan membekas dalam diri mereka, seperti cara mengajarnya, pembawaannya, cara berpakaiannya, cara naik sepeda, cara berjalan, dan entah apalagi. Yang intinya, kesemuanya berasal dari keteladanan. Guru-guru itu mengajar dengan ketelatenan dan ikhlas karena Allah SWT. Walaupun di rumah ada tanggungan keluarga mereka tetap menyempatkan mengajar. Guru-guru itu bagaimanapun cuacanya, panas, hujan angin, petir der-deran akan disempat-sempatkan untuk mengajar yang padahal jarak rumahnya jauh. Sebut saja guru-guru dari Donosari, Lanji, dan Patebon untuk sampai ke Pandes harus mengayuh sepeda melewati jembatan Pegandon itu. Jika melewati Cepiring maka harus melewati pematang sawah yang waktu itu masih sangat jarang bangunan-bangunan yang berdiri di sepanjang jalan. Bisa dibayangkan saat hujan disertai angin kencang yang jaman itu mantol hanya dimiliki orang-orang tertentu saja. Mengayuh sepeda jengki/onto dengan jarak yang harus ditempuh sepanjang 7,1 km (berdasar Google Map) hanya dengan payung hitam untuk melindungi diri dari hujan.
"Kang. Sampean mbiyen sekolahe ning MDA Sebeo si, kok nulise malah MDA Pandes," ucap suara-suara yang entah dari mana.
Tak Jawab, "Kita semua tidak ada yang tahu. Kemungkinan-kemungkinan di semesta ini sangat beragam dan kompleks. Siapa tahu jodohku kelak orang sana. Intinya, entahlah. Jodoh juga perkara kemungkinan yang tak kalah beragam dan kompleksnya. Aku hanya bisa menyemogakan."
***
Tulisan saya ini sangat jauh dari kata ilmiah karena sumber informan yang saya ambil hanya tiga orang. Sekiranya dari pembaca sekalian ada yang memiliki info lebih atau lebih valid bisa mengabarkan kepada saya agar saya tambahkan info tersebut pada tulisan ini
Komentar
Posting Komentar