Indonesia adalah negara besar dengan jumlah
penduduk terbanyak ke empat di dunia. Suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan
bahwa Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari banyak kelompok
suku-bangsa, agama, adat, budaya, dan kedaerahannya masing-masing. Satu sisi
menjadi anugerah dan kebanggaan karena keberagaman yang kaya ini dapat menjadi
potensi yang besar jika dimanfaatkan dengan semestinya dan tidak setiap negera memiliki
keberagaman ini. Namun, di sisi lain perbedaan yang sangat beragam ini rawan
terjadi gesekan bahkan konflik antar kelompok jika tidak dikelola dengan baik oleh
negara beserta setiap elemen masyarakat di dalamnya bersama-sama. Hal ini
dibuktikan dengan beberapa lembar catatan sejarah bangsa ini yang pernah
menggoreskan catatan kelam berupa konflik antar golongan yang berlatar, baik
antar agama, suku, atau mayoritas-minoritas. Beberapa kejadian tersebut sangat
menyayat, bahkan masih menyisahkan trauma berkepanjangan sampai sekarang bagi
beberapa belah pihak. Semua memiliki harapan yang sama semoga cacatan kelam
yang serupa tidak akan pernah terjadi lagi di masa yang akan datang.
Namun kita harus jujur, harapan itu masih jauh
dari kenyataan dan kita kembali diuji. Pasca Pilpres tahun 2014 seolah kita
benar-benar dikotakkan menjadi dua golongan besar yang saling menjatuhkan satu
sama lain. Hal ini menjadi semakin parah dan panas pada perhelatan Pilkada DKI.
Di mana dinamika yang meliputinya benar-benar menguji kebangsaan kita.
Pengkotakan berdasarkan pilihan ini masih terus berlanjut di Pilpres tahun
2019, bahkan hingga saat ini walaupun sudah tidak sepanas seperti waktu-waktu
sebelumnya.
Suasana panas ini dapat kita saksikan dan
rasakan di media sosial, di mana saat itu media sosial benar-benar sudah tidak
sehat lagi. Perang kata-kata, provokasi, dan hoax yang berbau SARA seperti
konsumsi sehari-hari bagi kita saat membuka media sosial. Yang lebih memprihatinkan
dan mencengankan setelah ditangkapnya kelompok Saracen ditemukan fakta bahwa
provokasi dan hoax yang berbau SARA memang sengaja dihembuskan dan disebarkan
di media sosial pihak tertentu, bahkan menjadi ladang bisnis bagi mereka.
Maka dari itu tugas kita bersama adalah mejaga
agar Indonesia yang merupakan rumah kita bersama tetap utuh dalam kesatuan.
Para pendiri bangsa kita dulu dalam merumuskan negara Indonesia sudah
memikirkan matang-matang tentang bagaimana agar Indonesia yang beragam ini
tetap dalam persatuan. Yaitu di antaranya dapat kita temukan di dalam dasar
negara kita Pancasila, yang tertulis di dalam sila ke tiga. Yang mencadi
persoalan tidak semua orang menyadari dan memahami makna yang terkandung di
dalamnya. Maka tugas kita sekarang adalah menyadarkan dan memahamkan
nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila kepada setiap lapisan
masyarakat.
Karena persatuan bagi suatu negara sangat
mendasar dan vital. Lebih-lebih persatuan antar golongan yang berbeda-beda di
dalamnya. Hal ini berkaitan erat dengan keberlangsungan suatu negara. Karena
kenyataannya banyak negara hancur bukan karena serangan musuh dari luar, namun
karena peperangan antar golongan di dalamnya. Maka nilai kesatuan mutlak adanya
untuk keberlanjutan suatu negara.
Kesatuan dapat tercapai salah satunya adalah
dengan toleransi antar golongan. Perlu digaris bawahi bahwa makna toleransi
menurut hemat penulis adalah suatu sikap yang dilandasi atas suatu kesadaran
penuh bahwa manusia diciptakan dengan perbedaan-perbedaan yang sangat beragam. Maka
dengan perbedaan itu manusia harus mau mengenal dan menghormati perbedaan yang
ada dalam diri orang atau golongan lain di luar kita.
***
Pesantren sebagai salah satu lembaga
pendidikan tertua di Indonesia telah memberikan andil yang besar bagi
terbentuknya sejarah Indonesia dan memberikan warna di dalamnya. Baik segi
keagamaan, kebudayaan, ekonomi, dan politik. Banyak tokoh-tokoh besar Indonesia
yang berasal dari pesantren, bahkan salah satu presiden Indonesia adalah orang
pesantren. Maka dari itu, penulis ingin mencoba menggali nilai-nilai toleransi
yang ada di dalam lembaga pendidikan pesantren yang secara tidak langsung
membentuk sikap santri dalam hal toleransi.
Penulis sering mendengar penuturan kyai dan
guru-guru penulis di pesantren, bahwa pesantren adalah miniatur masyarakat di
desa. Maksudnya unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat di desa ada di dalam
pesantren. Kamar-kamar, organisasi, perilaku dan karakter masing-masing santri
adalah gambaran kelak di desa. Maka secara tidak langsung saat di pesantren
santri juga belajar bermasyarakat. Hal ini jika ditarik lebih luas maka
pesantren tidak hanya miniatur masyarakat di desa, tapi miniatur suatu negara,
yaitu negara kesatuan republik Indonesia.
Hal ini dapat kita lihat di pesantren-pesantren
besar yang jumlah santrinya ribuan dan berasal dari berbagai daerah di
Indonesia yang biasanya santrinya dipetakan kompleks-kompleks yang menjadi
tempat tinggal santri berdasar asal daerah. Walaupun dipetakan berdasar daerah
namun mereka disatukan di bawah naungan pesantren yang sama. Mereka tidak
menutup diri dengan santri-santri dari daerah lain. Jika terjadi persaingan
biasanya persainagn yang bersifat positif.
Hal ini setidaknya menjadi bekal kelak ketika
santri sudah di masyarakat dan menjadi agen perubahan nilai toleransi telah
tertanam dan disebarkan kepada orang lain.
Komentar
Posting Komentar